LAHAT,Lahatindependen.com – Praktik penambangan ilegal masih saja terjadi di sektor pertambangan Sumsel. Tuduhan itu kali ini dialamatkan kepada PT Banjarsari Pribumi. Perusahaan yang menjadi bagian dari Titan Grup tersebut dituding telah melakukan penambangan di luar wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Aksi korporasi itu lantas diprotes sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Lentera Hijau Sriwijaya. Mereka menggelar unjuk rasa ke Kantor Gubernur Sumsel, Kamis (7/9). Puluhan massa juga melakukan aksi long march dengan berjalan kaki menuju Gedung DPRD Sumsel.
Ketua Lentera Hijau Sriwijaya, Febri Julian mengatakan, dalam aksinya mereka menuntut perusahaan untuk ditutup operasionalnya karena melakukan penambangan di luar IUP. Dia mengatakan, temuan pelanggaran tersebut setelah pihaknya melakukan pengamatan melalui citra satelit serta peta IUP Kementerian ESDM.
“Ada beberapa wilayah yang sudah dilakukan aktivitas penambangan. Setelah dicocokkan, ternyata areal ini berada diluar IUP perusahaan,” kata Febri saat menyampaikan orasinya.
Febri menerangkan, kegiatan penambangan diluar IUP jelas telah melanggar UU No3/2020 tentang perubahan atas UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Seperti yang tertuang dalam Pasal 158 berbunyi: “Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah)”.
Penambangan di luar IUP yang diduga dilakukan oleh PT. BANJAR SARI PRIBUMI bertentangan dengan Pasal 159 yang berbunyi: Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf e, Pasal 105 ayat (4), Pasal 110 atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selain melanggar aturan, kata Febri, aktivitas penambangan di luar IUP tersebut telah merugikan masyarakat maupun negara. Sebab, seluruh kegiatan pertambangan mulai dari pengupasan, penggalian hingga pengangkutan diduga tidak memiliki izin lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
Sehingga, Febri menduga telah terjadi aksi pencemaran lingkungan yang telah dilakukan perusahaan. “Apakah seluruh kegiatan penambangan di luar IUP ini memenuhi seluruh persyaratan yang tertuang dalam izin lingkungan. Kemungkinan besar tidak. Karena aktivitas tersebut merupakan salah satu tindakan yang ilegal. Artinya masyarakat di sekitar tambang mendapatkan dampaknya,” bebernya.
Untuk itu, Febri menuntut agar Gubernur Sumsel Herman Deru, DPRD Sumsel dan Dirkrimsus Polda Sumsel dapat menyelidiki dan memeriksa lokasi tambang PT Banjarsari Pribumi serta memberikan sanksi tegas.
“Selaku pemerintah daerah dapat merekomendasikan ke Menteri ESDM mencabut IUP PT Banjarsari Pribumi karena sudah merugikan negara dan masyarakat,” terangnya.
Banjarsari Pribumi Tak Kantongi Izin Project Area
Dalam istilah pertambangan, project area merupakan kawasan di luar wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan yang menjadi koridor atau ruang diantara IUP yang dimiliki perusahaan lain. Kawasan project area harus steril dari kegiatan penambangan. Seperti yang tertuang dalam PP No. 23 tahun 2010 penjelasan pasal 33, pasal 40, dan pasal 66.
Kawasan project area hanya diperbolehkan untuk aktivitas penunjang seperti Kolam Pengelolaan Limbah (KPL), meletakkan timbunan overburden dan stockpile. Namun, pemanfaatan project area harus mendapatkan izin lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
AMDAL dikeluarkan untuk project area dengan luasan lebih dari 200 hektar. Sementara dibawah luasan itu, perusahaan hanya mengajukan izin UKL-UPL. Nah, di kawasan Wilayah IUP Banjarsari Pribumi, terdapat wilayah sekitar ratusan hektar yang merupakan kawasan project area. Pengamatan melalui citra stelit, kawasan ini memiliki bentuk menyerupai huruf L.
Kawasannya berbatasan dengan IUP PT Golden Great Borneo. Areal inilah yang diduga telah dilakukan kegiatan penambangan oleh PT Banjarsari Pribumi. Wilayah ini diduga telah digunakan untuk kegiatan penambangan, mulai dari pengangkutan, pengupasan dan lainnya.
“Areal yang seharusnya steril diduga telah dimanfaatkan perusahaan untuk kegiatan penambangan,” kata Febri saat dibincangi, Kamis (7/9).
Dia juga menuding, perusahaan belum mendapatkan izin lingkungan dalam kegiatan tersebut. Hal ini jelas telah melanggar UU No 4/2009 tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba) yang telah diubah menjadi UU No 3/2020 tentang perubahan UU No 4/2009 dan diperbarui lewat UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
“Diduga perusahaan tidak mengantongi izin lingkungan dalam pemanfaatan project area tersebut,” bebernya.
Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Hendriansyah melalui Kepala Bidang Teknik dan Penerimaan Minerba, Armaya Sentanu Pasek mengatakan, berdasarkan aturan UU Minerba No 4 Tahun 2009 yang diperbarui oleh UU No 3 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja, penambangan diluar IUP jelas tidak diperbolehkan.
“Kawasan di luar IUP hanya diperbolehkan untuk aktivitas penunjang. Seperti pembangunan kantor, jalan, stockpile ataupun lainnya. Untuk kegiatan penambangan seperti penggalian dan lainnya itu hanya berada di areal IUP saja,” katanya.
Penggunaan areal di luar IUP, kata Armaya juga wajib mengantongi izin. Untuk saat ini, kewenangan izinnya ada di pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM. “Sebelum mengurus izin di Kementerian ESDM, terlebih dahulu mengantongi izin lingkungan dan persyaratan lainnya,” tuturnya. Titan Grup Menambang Diluar IUP, Lentera Hijau Sriwijaya Desak Pemerintah Cabut Izin Perusahaan.
Sepengetahuan Armaya, IUP yang dimiliki PT Banjarsari Pribumi dikeluarkan oleh Bupati Lahat. Hanya saja, Armaya kurang mengetahui persisnya izin tersebut dikeluarkan.
“Setahu saya itu (IUP) masih berlaku. Sebab, masa berlaku untuk IUP ini kan 20-30 tahun,” ucapnya.
Namun, Armaya menuturkan pihaknya akan melakukan cek dan ricek seputar perizinan yang dimiliki perusahaan. “Kita akan kroscek data-datanya. Apakah lengkap atau tidak. Lalu, kita akan cocokkan dengan kondisi di lapangan. Hanya saja, kami tetap akan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM. Sebab, kewenangan pembinaan dan pengawasan kana da pada mereka,” terangnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Sumsel, Edwar Chandra melalui Kabid Penegakkan Hukum (Gakkum) Yulkar Pramilus mengatakan, sepengetahuannya izin lingkungan baik AMDAL maupun lainnya yang dimiliki PT Banjarsari Pribumi dikeluarkan oleh Bupati Lahat.
“Jadi sejak UU otonomi daerah tahun 2003 sampai 2016 itu kewenangannya memang ke kabupaten kota. Karena ini berada di Kabupaten Lahat maka izin lingkungan pertama dikeluarkan oleh Bupati Lahat,” terangnya.
Lalu, di tahun 2016-2019, sewaktu kewenangan tata kelola tambang diserahkan ke Pemprov Sumsel, kewenangan izin lingkungan masih berada di kabupaten kota. Sehingga, tidak ada perubahan.
“Nah, kalau ada indikasi penambangan di luar IUP seperti yang disampaikan tadi, jelas ada pelanggaran aturan. Sebab, ada perubahan aktivitas perusahaan. Dari yang tadinya hanya di dalam IUP menjadi di luar IUP. Dan itu perlu izin yang diperbarui. Kalau sekarang kewenangannya ada di KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” terangnya.
Terkait temuan Lentera Hijau Sriwijaya, Yulkar mengatakan akan segera menindaklanjutinya dengan melaporkan ke KLHK serta melakukan kroscek data ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat dan meninjau langsung lokasi yang diduga ada aktivitas penambangan di luar IUP.
Jika temuan tersebut benar, maka perusahaan bisa dikenakan sanksi. Dalam penegakan hukum pelanggar lingkungan, pihaknya melakukan pendekatan ultimatum remedium atau sanksi administrasi.
“Sanksinya perusahaan akan diminta memenuhi perizinan yang belum terpenuhi, melakukan pemulihan lingkungan yang rusak atas aktivitas penambangan yang dilakukan,” ucapnya.
Sementara, apabila terdapat korban dari aktivitas penambangan yang dilakukan. Seperti warga yang meninggal, sakit atau luka dari dampak penambangan tersebut. Maka perusahaan bisa dikenakan sanksi pidana. “Ancamannya bisa lima tahun kurungan penjara,” tegasnya. (Rilis)